Sunday 13 December 2015

Sejuta Rasa Jatuh Cinta

Jatuh cinta itu memang berjuta rasanya. Mungkin itu perasaan yang  baru aku rasa kali ini. Entahlah, tak pernah henti rasanya pikiran ini memikirkan tentangnya. Selalu merasakan saat-sat dia di dekatku. Rasanya hangat, dan nyaman. Dan laki-laki ini adalah salah satu tipe laki-laki yang memang masuk kriteriaku. Etahlah, apakah ia merasakan perasaan yang sama atau tidak. Dia begitu misterius. Seperti tiba-tiba datang ke rumahku tanpa ada keperluan apapun. Tiba-tiba datang tanpa kabar berita kedatangannya. Apakah ia rindu kepadaku? Entah...Tapi aku selalu merasakah perasaan ini saat di dekatnya.
Beberapa kali juga aku dengar ia dekat dengan perempuan lain, bahkan sekali pernah aku dengar ia sudah jadian dengan perempuan ini. Perempuan yang ku kenal dan memang tidak begitu ku suka. Perasaan marah, cemburu, berkecamuk dalam pikiranku. Tapi siapa aku? Aku bukan siapa-siapanya. Aku hanya seseorang yang kebetulan tertancap panah asmara si cupid ketika pertama kali aku melihatnya.
Dia hitam manis, dengan tahi lalat kecil di pipi kirinya. Mukanya tirus dengan rambut agak gondrong untuk ukuran laki-laki. Matanya sendu penuh kelembutan. Luluh lantah sudah rasanya saat aku melihatnya. Melihatnya memandangiku seperti itu. Seperti seseorang yang penuh kasih. Ia nyaman di dekatku ia bahagia di dekatku. Di tengah keseriusanku untuk bisa main perkusi. Salah satu syarat untuk menjadi kekasihnya. Kegilaannya akan perkusi sedikit banyak membuatnya terobsesi pada perempuan yang bisa bemain perkusi. Ya, wajar saja ketika aku dengar ia jadian dengan Fani. Ia seorang drumer di sebuah band.
Sementara aku hanyalah seorang vokalis yang sama sekali tidak bisa bermain alat musik selain recorder dan harmonipad yang menjad alat musikku ketika pelajaran seni musik. Sedikit alat-alat kesenian tradisional karena aku pernah belajar musik karawitan sewaktu SMP. Salah satu pelajaran yang aku sukai juga selain seni tari. Ya, aku cukup tertarik akan banyak hal tentang seni. Aku menyukainya, aku menikmatinya termasuk ketika ia bermain perkusi.
Tapi begitulah perjalanan cinta kami. Dia tidak pernah menyatakan cintanya walaupun ia tahu aku menyukainya dari teman-temanku yang juga temannya. Tapi aku juga memang tidak pernah menyatakan perasaanku. Bagiku haram hukumnya jika perempuan yang harus menyatakan perasaan cintanya kepada seseorang. Biarlah, aku menunggu atau tepatnya menikmati perasaanku ini. Hanya bersamanya saja aku sudah bisa merasakan kasih sayang, kehangatan cintanya. Itu saja sudah cukup rasanya. Biarlah aku tidak memilikinya tapi aku memiliki cintanya.
Firlan namanya. Laki-laki yang membuatku jatuh cinta ini. Aku pertama kali melihatnya di studio tempatku berlatih bersama bandku. Hanya sekilas saja, dan setelah itu ia datang dan datang lagi untuk mencuri hatiku. Berawal dari sekadar candaan dan perasaan itu berlanjut dan semakin dalam. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Dia yang selalu datang tiba-tiba, menghilang, dan datang lagi dalam hidupku. Hingga suatu hari, barulah aku tahu kalau ia menyimpan perasaan yang sama.
Seperti biasa setiap sabtu malam adalah acara rutinku bersama anak-anak bandku untuk menginap bersama di rumah Erlyn, pemain gitarku yang juga sahabatku, begitupun grup bandku yang lain. Raina sang drumer dan Runi sang basist. Baru selesai shalat Subuh aku ke dapur untuk mengambil air putih. Di pagi yang berembun itu aku melihatnya. Ia melambai-lambaikan tangannya di luar. Terlihat jelas karena dapur rumah Erlyn memang dikelilingi kaca yang terlihat dari luar. Jadi berbagai aktivitas kami di dapur pasti terlihat dari luar. Begitupun pemandangan indah halaman samping terlihat jelas dari dalam, dan dia.
Tiba-tiba ia datang lagi. Seperti kebiasaannya yang selalu datang dan pergi. Tapi aku tetap mencintainya dan selalu merasakan perasaan ini. Menggebu-gebu, bahagia, saat ia datang dan datang lagi. Seperti pagi itu...lambaian tangan dan senyumnya. Ah...dia yang tidak pernah bisa aku lupakan. Dia yang selalu tersimpan dalam hatiku sebagai satu-satunya laki-laki yang membuatku merasakan perasaan ini.
“Mima, bukain pintunya!”
Dengan perasaan terkejut, antara percaya tak percaya, tapi itu benar-benar dia, A.Firlan. Itulah panggilanku untuknya seperti pada semua laki-laki yang umurnya di atasku lainnya. Tidak ada panggilan spesial karena dia bukan siapa-siapa aku. Akupun membuka kunci pintu dapur yang langsung menuju halaman samping rumah Erlyn. Sebuah vila yang cukup megah yang berada di kawasan Ciwideuy Bandung.
Ia mengenakan celana, kaos dan jaket yang semuanya berwarna hitam. Warna favoritnya. Menempel di badannya yang tidak begitu kurus tapi jauh sekali dari gemuk. Jika aku berada dekatnya aku hanya setinggi bahunya saja. Ia memang tidak terlalu tinggi tapi lebih tinggi dari aku. Salah satu syarat laki-laki yang bisa menjadi kekasihku.
Ia pun masuk, lalu menarik tanganku.
“Ayo, ikut aku...aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
“Sekarang?”, “Sepagi ini?”, “Mau ke mana?” pertanyaan-pertanyaanku menyerbunya.
“Udah, enggak usah banyak nanya, ganti baju dulu gih sana, pokoknya kamu enggak akan nyesel ikut aku.” Jawabnya sambil tersenyum, dengan tatapan mata sendunya yang selalu membuat hatiku meleleh seperti cokelat yang lumer.
Akupun tersenyum, masih dengan perasaan itu. Kaget bercampur senang, karena dia datang lagi. Tiba-tiba menemuiku lagi tanpa kabar sebelumnya. Akupun beranjak ke kamar untuk mengganti pakaianku. Apalagi kalau bukan dengan jins, dan kaos dengan tambahan jaket favoritku. Erlyn yang sudah bangun terkejut. Menyerbuku juga dengan pertanyaan.
“Mau ke mana Ma pagi-pagi gini?”, “Mau ngapain?”, ”Sama siapa?” Udah kaya Ibu-ibu cerewet aja nanyanya. Padahal aku tahu ia masih terkantuk-kantuk karena kami baru saja tidur lewat jam 1 dini hari.
“Si, A.Firlan ke sini. Dia ngajakin aku pergi. Enggak tahu ke mana. Aneh kan? Dan seperti kebiasaannya....Tiba-tiba.” Kataku sambil tersenyum merekah. Agar sahabatku tak khawatir karena aku pergi dengan seseorang yang dapat dipercaya.
“Ciyeeeeh....” dia menggodaku karena ia tahu benar bagaimana perasaanku pada laki-laki ini.
“Ikutlah...!” Serunya mengagetkanku.
“Yuk, tanya dia aja, sekalian ke bawah...” kataku sambil menuruni tangga begegas ke arah laki-laki itu.
Erlynpun mengikutiku turun ke arah dapur. Kami berdua menghampiri laki-laki itu. Sedang asik memandangi foto bandku yang besar di dinding sisi tangga.
“Si Aa, ga bilang-bilang mau ke sini, subuh-subuh pula...Mau ke mana sih A?” Tanya Erlyn penasaran.
“Hehe...Ada deh Lin, mau tau aja.” Jawabnya sambil tersenyum malu lalu menatapku. Memberiku pertanda agar segera mengikutinya.
“Aku ikut dong A!” Pertanyaan langsung dijawabnya.
“Enggak ah! Aku lagi pengen ngajakin Mima aja. Pengen jalan berduaan aja, kali ini aja ya..” sambil mengulurkan tangan kanannya untuk aku sambut.
Kamipun bergandengan tangan berdua sambil meninggalkan Erlyn yang seperti keheranan sekaligus menggoda kami yang kali itu terlihat benar-benar mesra. Setidaknya di mata Erlyn yang biasanya melihat A. Firlan yang tampak berbeda dari biasanya.
Ya, pagi itu ia terlihat sangat tampan. Lebih tampan dibanding biasanya. Terutama sikapnya yang riang, ceria, dan agresif. Tidak seperti biasanya yang cenderung dingin, acuh tak acuh, senyum sesekali dan tidak banyak bicara,hanya sesekali menjawab disertai dengan senyumannya.
Kami keluar dari halaman vila Erlyn. Dan masih bergandengan tangan. Dinginnya pagi itu tak bisa menahanku untuk lebih erat memegangi lengannya. Begitupun tangannya yang semakin erat mengenggam tanganku. Hangat.... sepertinya tiba-tiba pagi yang masih gelap itu terlihat sangat indah, banyak bunga berwarna-warni di sekitar kami yang baru bermekaran.
Kami mengobrol dan mengomentari banyak hal yang kami lihat sepanjang perjalanan. Dia begitu enak diajak mengobrol. Benar-benar memesonaku lebih dari biasanya. Kami tertawa-tawa berdua. Obrolan kami rasanya tidak pernah bisa putus. Berbicara banyak hal mulai dari bandku, teman-teman-temannya, hobi perkusinya, dan ke mana saja selama ia menghilang. Genggaman tangannya semakin erat mengeggam tanganku, Membuatku semakin erat pula menyender di lengannya. Dunia benar-benar milik kami berdua.
Kami sudah di sana, di sisi danau, berdua saja menunggu matahari terbit.
 “Kenapa baru kali ini sih kamu kaya gini” gumamku. “Kamu gak tahu ya kalau inilah yang aku inginkan selama ini. Kamu yang seperti ini. Menggenggam erat tangaku dan tak membiarkan aku menjauhimu. Selalu dekat denganmu.” Aku sibuk dengan pikiranku sendiri sambil tersenyum memandanginya yang sedang tersenyum. Aku lihat binar kebahagiaan di matanya. Binar yang selama ini aku tunggu dan selalu aku rindukan. Di saat kami berdua, dan hanya berdua saja.
Akhirnya kami sampai di sisi danau dengan pemandangan terindah. Sebuah pulau kecil yang masih berselimut kabut. Kami duduk di tengah-tengahnya. Di sebuah kursi kayu yang sedikit basah oleh embun. Entah kenapa...Rasa sunyi tiba-tiba datang. Kami berdua terdiam terpaku melihat pulau kecil di seberang sana. Tapi tangan kami tidak terpisah sedetikpun dari pertama ia mengulurkan tangannya untukku pegang hingga saat kesunyian itu datang.
“Mima, makasih ya...atas semuanya...” Katanya memecah keheningan. Tanganku ia tarik ke pengkuannya. Ia meneruskan kalimatnya.
“...Semua yang udah kamu kasih ke aku, kesabaran kamu, ketulusan kamu, kamu selalu ada untuk aku. Kapanpun...”
“Padahal aku selalu pergi tanpa kabar dan mungkin kamu juga mendengar kabar kedekatanku dengan si A, si B, dan banyak lagi yang lain...”
“Tapi kamu tetap ada buat aku. Dengan kesederhanaanmu mencintai aku. Tulus menerima aku yang seperti ini.” Katanya sambil tak henti menatapku yang kebingungan sambil terus menyimak apa yang ia sampaikan.
Aku melihat matanya, mendengar kata-katanya yang benar-benar tulus, jujur dari hatinya. Genggaman tangannya semakin erat, semakin hangat, semakin membuat aku nyaman di dekatnya. Aku tidak ingin saat ini berakhir. Rasanya aku ingin berhari-hari seperti ini bersamanya, berdua saja. Pikiranku melayang diiringi semua kata-katanya.
“Mungin kamu tidak pernah tahu, bahwa aku sudah jatuh hati padamu semenjak kita bertemu pertama kali.”
“Tapi aku terlalu takut untuk menyatakannya. Aku takut kau akan menolaku karena aku tahu banyak laki-laki yang mengincarmu di luar sana. Banyak bunga yang selalu kau dapat ketika kamu manggung di manapun. Mereka para pengagummu.”
“Dari sekian banyak perempuan yang datang dalam hidupku, mereka tidak bisa meluluhkan hatiku seperti kamu. Dan bodohnya aku terlambat menyadarinya. Tapi rasanya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena jika tidak maka aku tidak akan bisa tenang selamanya.”
Aku hanya terdiam mendengarkan semua pengakuanya. Rasanya seperti ingin terbang karena terlalu bahagia. Akhirnya aku tahu bahwa apa yang aku kira memang benar. Aku tahu, dia juga jatuh cinta kepadaku. Dari pertemuan pertama kami. Pertama kali aku merasa tertarik dengan sosoknya. Aku bisa merasakannya ketika kami berdua saja. Bagaimana ia memperhatikanku, mengajariku perkusi dengan sabarnya, mengantarku pulang ketika sudah lewat jam 7 malam aku masih juga di studio. Tiba-tiba masuk studio hanya untuk memberiku sebotol air mineral. Lalu keluar dan memberi aku isyarat untuk meminumnya, dan banyak lagi perhatian yang ia beri padaku. Walaupun ia tidak pernah mengatakannya, tapi aku bisa merasakannya.
“Mima, Aku cinta sama kamu, sayang...sayang banget. Aku salah satu penggummu...aku mengagumi caramu bernyanyi, suaramu, gayamu, bahkan setiap gerak gerikmu juga senyumanmu yang selalu tulus.”
“Aa...” Aku tidak bisa berkata apa-apa....aku langsung memeluk laki-laki yang baru saja menyatakan cintanya kepadaku. Dia lebih erat memeluku sambil meneruskan kata-katanya.
“Jaga diri baik-baik ya, Aku akan selalu ada di dekatmu, tidak akan jauh lagi. Ke manapun kamu pergi Aku selalu ada di sekelilingmu. Ingat itu ya...Aku enggak akan pernah pergi lagi. Aku akan selalu menjadi malaikat pelindungmu.”
“Ih, ngomong apaan sih Aa...Ngawur.” Jawabku sambil tersenyum. Laki-laki yang aku cintai itu mencium keningku dengan lembut.
Matahari menghamburkan embun dan mengganti langit menjadi cerah ceria. Laki-laki ini masih bersamaku. Kami berjalan lagi menyusuri kebun teh dan jalanan sepi di pagi hari. Hanya para penjual sayur yang sesekali melewat kami berdua sambil menggoda kami dengan siulan-siulan nakal mereka. Mereka tahu kami sedang dimabuk cinta.
Celah itu hanya untuk jemarimu
Kami hanya tersenyum. Ia justru semakin erat menggenggam tanganku. Jari-jari tangan kami saling terpaut. Dan kali ini rasanya berbeda. Seolah-olah kami sudah saling memiliki. Sepertinya kebersamaan kami pagi itu seolah mengumumukan kepada dunia bahwa kami saling mencintai dan saling jatuh cinta. Sepanjang jalan kami terus berbincang banyak hal. Empat jam kebersamaan kami membuatku sangat mengenalnya dan membuatku semakin kagum padanya. Pemikirannya, sikapnya, dan terutama caranya memperlakukan aku.
Sampailah kami di halaman vila Erlyn sahabatku. Akupun melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Mau masuk dulu enggak? Tanyaku sambil tersenyum memberi pertanda agar ia melepas tanganku. Tapi dia seolah tak ingin melepasnya. Aku masih ingat bagaimana ia memandangku pagi itu. Lalu...ia menariku lembut. Ia menatapku, wajahnya semakin dekat dengan wajahku, ia mengecup bibirku lembut, lalu...bibir kami...ciuman pertama kami. Penuh dengan rasa cinta, hangat, benar-benar membiusku dan membawaku terbang hingga langit ke-7. Rasanya tidak ingin mengakhirinya. Kamipun berpelukan lagi. Dan pelukan kami terlepas karena suara klakson bis yang menggetkan kami berdua. Kami berdua tertawa...menertawakan kekagetan kami.
“Ya, udah aku masuk ya...Makasih, untuk pagi yang indah ini. Hati-hati ya.”
“Iya, kamu juga, makasih juga udah mau aku culik subuh-subuh...jaga diri baik-baik ya...jangan lupakan hari ini” kayanya sambil tersenyum dan memberi isyarat untukku masuk terlebih dahulu. Akupun mengangguk dan melangkah menuju pintu samping vila Erlyn. Sampai di pintu aku kembali berbalik dan masih melihatnya berdiri di bawah pohon cemara besar itu. Masih melihatku dan terseyum lagi sambil melambaikan tanganya kepadaku. Akupun masuk ke vila melewati dapur.
Aku kaget, kamar begitu senyap. Tida ada seorangpun di dalam. Rumah kosong. Langsung aku ambil ponselku dan menelepon Erlyn.
“Lyn, kalian lagi dimana?”
“Ma, kamu harus ke sini...” Kalimat Erlyn tersekat. Di belakangnya terdengar suara keramaian. Seperti banyak orang yang sedang menangis terisak, bahkan ada yang histeris membuatku semakin penasaran.
“Kemaan Lyn?” Tanyaku semakin memburunya.
“A.Firlan...A Firlan meninggal jam 2 pagi tadi. Kecelakaan...” Rasanya seperti medengar suara petir yang menggelegar. Badanku lemas. Masih terselip di telingaku bunga lili merah yang baru mekar yang laki-laki itu selipkan di telingaku. Laki-laki yang baru saja mengantarku pulang. Laki-laki yang baru saja melambaikan tangannya kepadaku. Laki-laki yang baru saja menciumku dan itu bukan hanya ciuman pertama kami, tapi juga yang terakhir.
Badanku lemas lunglai sambil menatap lili merah yang kupegangi. Air mataku terurai. Rupanya ini maksudnya daripada tidak sama sekali, ketenangan, menjadi malaikat pelindungku.
“Ah, Tuhan....Kenapa...secepat ini. Kenapa hanya kau berikan aku 4 jam saja untuk merasakan cinta ini, untuk saling memiliki. Bahkan untuk memimpikan masa depan kami saja aku tidak bisa karena laki-laki itu, laki-laki yang baru saja menyatakan cintanya kepadaku sudah kembali ke sisimu.”
Air mataku terus mengalir...hingga mataku terlihat sembap. Rasanya aku tak sanggup menghadapi semua ini. Tiba-tiba dingin terasa di sekitar kamar kami. Namun rasanya ada seseorang yang memeluku. Rasanya sama seperti ketika laki-laki yang membuatku jatuh cinta itu memeluku beberapa menit yang lalu. Akupun memejamkan mataku, membiarkannya menenangkanku. Hingga tangisku perlahan mulai berhenti.
“Aku harus siap mengahadapi semuanya. Aku sudah janji bahwa aku akan baik-baik saja. Aku percaya ia akan selalu menjadi malaikat pelindungku.” Aku tersenyum. Mencoba menguatkan hatiku.
Aku tahu ia masih di sana, di kamar itu, menamaniku.
“Aa...aku janji, aku enggak pernah lupa hari ini. Aku enggak pernah nyesel udah pernah ketemu Aa. Jatuh cinta sama Aa & selalu ada buat Aa. Hidup yang tenang ya di sana. Aku udah tahu perasaan Aa selama ini. Walaupun Aa enggak bilang. Aku udah tahu...dari semua perhatian ya Aa kasih ke aku.”
“Tunggu aku di surga ya...Aku akan selalu cinta dan sayang sama Aa. Sampai kapanpun. Aku janji. Aku akan terus hidup untuk buat Aa bangga sama aku.” lirihku diiringi air mata yang terus mengalir membasahi pipiku. Aku pejamkan mata dan sekali lagi. Ia mencium keningku dengan lembut. Tapi kali ini rasanya dingin. Dingin sekali...
Pagi itu, di tengah keriuhan dengan longdress hitam, syawl hitam yang menutup rambutku dan kacamata hitam yang menutup mataku yang sembab. Aku berdiri di depan pusaranya. Sebuah nisan bertuliskan namanya, hari lahir dan hari kematiannya yaitu hari ini.
Hari di mana kami telah menghabiskan 4 jam berdua saja. Merasakan rasanya jatuh cinta. Merasakan sebuah cinta yang tulus dan indah. Berdua saja ditemani dengan embun pagi, keredupan dini hari, tetesan embun dari riuhnya pepohonan. Tempat itu menjadi tempat favoritku untuk mengenangnya di hari jadi kami yang tiada lain adalah hari kematiannya juga. Dan aku berjanji tidak akan pernah melupakan hari ini.***

-Tamat-

No comments:

Post a Comment