“Ayo Pak, makan
yang banyak biar banyak tenaga.” Kataku kepada suamiku yang malam itu terlihat
begitu gagah sembari menyodorkan sepiring nasi hangat untuknya.
“Ibu, Didi mau mamam.” Tiba-tiba anak bungsuku memaksa
untuk duduk di pangkuan bapaknya yang sedang makan dengan lahap. Menyusul
kakaknya Lita yang duduk di kursi makan sambil menuangkan nasi putih ke piring
yang sudah kusiapkan di atas meja makan.
“Bu, Bapak pergi dulu ya. Jaga
anak-anak. Hati-hati di rumah.”
“Iya Pak, Bapak juga. Bekalnya sudah
aku masukan ke dalam keresek ya Pak. Lengkap dengan sambal terasi dan tempe mendoannya.”
“Iya Bu, makasih.” Kata suamiku
sambil menyodorkan tangannya ke arahku untuk kucium. Ia pun tidak pernah lupa
untuk selalu mencium keningku setiap akan pergi bekerja menunaikan kewajibannya
sebagai kepala rumah tangga.
Walaupun suamiku pernah mengecap
bangku universitas, ia tidak malu untuk menjalani pekerjaannya sebagai sopir
truk selepas ia di PHK dari pabrik kertas. Bahkan menjadi kuli panggul di pasar
atau bekerja serabutan sebagai kuli bangunan.
Ketika lelap tidurnya aku melihat
lelah di raut wajahnya. Apalagi jika aku ingat pengorbanannya untuk
meninggalkan keluarganya yang kaya raya hanya untuk memperistriku. Pernikahan
tanpa restu kedua orang tuanya. Membuatnya harus hidup dalam kepahitan
bersamaku.***
“Mas, udah kita putus aja. Saya Ndak
apa apa.” Kataku meyakinkannya untuk mengakhiri hubungan kami. Rasanya tak
pantas ia menikahi aku yang SMP saja tidak lulus.
“Tidak Dek, aku sudah teranjur jatuh
cinta dan memilihmu untuk menjadi teman hidupku sampai tua nanti. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa berhasil
tanpa bantuan kedua orang tuaku. Kita bisa hidup dari Nol. Aku akan berusaha
untuk menjadi suami yang baik. Menjadi Bapak yang baik untuk anak-anak kita
kelak.” Katanya sambil memegang tanganku erat.
Saat itulah aku mempercayakan
seluruh hidupku kepada pria yang usianya hanya terpaut 3 tahun saja denganku.
Pria yang telah mengorbankan segalanya untuk menjadi pendamping hidupku selama
16 tahun ini. ***
“Bu, kapan kita beli baju lebaran?”
“Nanti nak, tunggu Bapakmu Pulang
dulu ya.”
“Kapan Bu, lebaran ke hanya tinggal
beberapa hari lagi. Lagian Bapak kok lama banget sih Bu perginya? Kan biasanya
7 atau 8 hari sudah pulang.” Indah terus nyerocos.
“Sabar ya nak, orang sabar disayang
Tuhan.” Sambil membelai rambut anak sulungku yang kini sudah mulai beranjak
belia ini. Pertanyaannya juga menohokku yang sebetulnya teramat cemas dengan
kepergian suamiku kali ini.
Bagaimana tidak, empat belas hari
sudah, tidak ada kabar darinya. Padahal biasanya paling lama 8 hari sudah
pulang kalau ia mengantar barang dari sini ke Sumatera. Uang belanjaku sudah
habis hingga mau tak mau aku harus mengutang kebutuhan hidup kami beberapa hari
ini kepada Mbok.Sinah.
Walaupun malu terpaksa aku lakukan
agar anak-anak tetap bisa makan. Walaupun makan seadanya ketiga anaku tak
pernah mengeluh. Mereka juga rela berjalan kaki ke sekolah karena tidak cukup
uang untuk membayar ongkos bis. Rupanya keprihatinan hidup kami telah cukup
menimpa anak-anaku. Aku bersyukur karenanya.
“Dari mana Nak?” tanyaku pada Lita
yang tergopoh-gopoh menggendong adiknya yang semakin besar saja.
“Sini sayang, ibu gendong....Ini
udah besar kok digendong-gendong Mbak nya terus? Nanti Mbaknya enggak
tinggi-tiggi loh karena gendong kamu.” Kataku sambir meraih Didi anak
terkecilku dari punggung Lita. Ia malah cekikikan.
“Aku dari rumah Dewi Bu, ngajak Adek
nonton film kartun kesukaannya.”
Batinku kembali terusik perih. Sudah
seminggu TV kami yang umurnya nyaris 20 tahun itu rusak. Tidak bisa digunakan
sama sekali. Terkadang Didi digendong kakaknya pulang sambil menangis karena
Dewi dan adiknya menonton acara lain.
Brak! Suara pintu dibuka membuyarkan
lamunaku yang sedang mencemaskan keadaan suamiku yang belum pulang. Sedang
memutar otak bagaimana caranya untuk bisa membayar utang bekas keperluan
sehari-hari, membeli beras yang hampir habis, gas yang tak lama lagi juga akan
habis. Hari raya juga akan segera tiba. Anaku yang paling besar bahkan sudah
meminta baju lebaran.
“Mbak, ini gimana uang kontrakannya
kok belum dibayar-bayar toh? Bulan ini sudah hampir habis Mbak. Telatnya sudah
berhari-hari.”
“Sabar Mbak, suami saya belum
pulang. Nanti kalau dia pulang saya janji bayar sewa kontrakannya.”
“Suamimu pasti kecantol sama
gadis-gadis Pantura itu loh. Udah 2 minggu lebih enggak pulang-pulang. Ndak
bisa diharapkan.” Katanya sambil berlalu pergi.
Perkataan Mbak.Ratmi benar-benar
membuat aku semakin cemas. Tidak hanya khawatir dengan keselamatan suamiku saja
tapi juga hatinya yang mungkin akan terpaut oleh wanita lain. Berlama-lama hidup
tanpa istri bukan hal yang mudah untuk lelakiku ini.
Penantian |
“Ya Allah, lindungi suamiku di manapun ia berada. Ingatkan selalu ia pada
kami di rumah. Tetapkanlah selalu hati dan cintanya untukku dan anak-anaku.
Jangan buat ia berpaling pada perempuan lain selain aku ya Allah...jaga ia
untukku. Untuk anak-anaku...”***
Baru kali ini aku meninggalkan istri
dan anak-anakku cukup lama. Sudah hampir 2 minggu. Sementara uang untuk dibawa
pulang habis untuk makan dan minum kami sementara jembatan Comal diperbaiki.
Aku tahu mereka pasti mencemaskan aku di rumah. Padahal aku lebih mencemaskan
keadaan mereka.
“Sahur dulu Mas...”
“Ndak usah, kamu aja. Saya tolong
pesankan Teh manis hangat saja.”
“Berdua saja Mas, Mari.”
“Ndak Apa-apa, makan aja.”
“Loh gimana sih Mas, yang butuh
banyak tenaga itu Mas loh bukan saya. Sudah 2 malam ini Mas tidak makan sahur
hanya teh manis saja.”
“Ndak apa-apa toh, kamu kan yang
saya bawa, masa saya biarin kamu kelaparan.”
“Ya sudah, saya ndak makan kalau
begitu.” Katanya memaksa sambil menyerahkan nasi bungkus itu ke arahku yang
akhirnya kami makan berdua.
Sengaja aku tidak sahur untuk
menghemat uang agar masih tersisih uang untuk istri dan anaku di rumah. Mereka
yang sudah pasti menungguku di rumah.***
“Bapak...” mereka menyambutku dan
memelukku hangat
“Pak, kok lama sekali?” tanya
perempuan cantik yang kali ini terlihat sedikit muram. Ada kesedihan di matanya
dan kekecewaan di wajahnya.
Akhirnya kuceritakan kisah
terdamparku di jembatan Comal pada istriku. Perempuan yang selalu membuatku
jatuh cinta setiap hari. Ketelatenannya menjaga, membesarkan dan mendidik
anak-anak kami membuatku bangga memilikinya. Pun untuk kesabarannya yang selalu
siap dengan pahit manis hidup yang ia jalani bersamaku.
“Ndak apa-apa Pak...dapat uang sedikit
enggak masalah, yang penting Bapak selamat. Rezeki bisa dicari.”
“Yang aku takutin Bapak kenapa-napa,
atau malah eggak pulang-pulang karena kecantol sama gadis pantura.” Kataku
tersipu malu karena sempat termakan hasutan
Mbak.Ratmi.
“Ya Ndak toh Bu...Enggak ada yang
bisa ngalahin kecantikan ibu, apalagi kebaikan dan kesabaran ibu menjadi istri
dan ibu dari anak-anaku.” Ku peluk ia semakin erat. Aku tahu ia adalah
perempuan tepat yang kupilih sejak akau memutuskan untuk memperistrinya.***
“Pos!” Tiba-tiba Pak Pos datang
membawa 1 dus besar ke depan rumah kami.
“Ini untuk Pak Radit.”
“O, Iya, Suami saya.”, aku bergegas melihat
dus besar itu dan segera menandatangani tanda terima yang disodorkan Pak Pos
kepadaku.
“Untuk: Raditya
Sastromihardjo, Pengirim...Satromihardjo...”****** TAMAT ******
No comments:
Post a Comment