Saturday 12 December 2015

Salah Jembatan! (Penantian)

“Ayo Pak, makan yang banyak biar banyak tenaga.” Kataku kepada suamiku yang malam itu terlihat begitu gagah sembari menyodorkan sepiring nasi hangat untuknya.
            “Ibu, Didi  mau mamam.” Tiba-tiba anak bungsuku memaksa untuk duduk di pangkuan bapaknya yang sedang makan dengan lahap. Menyusul kakaknya Lita yang duduk di kursi makan sambil menuangkan nasi putih ke piring yang sudah kusiapkan di atas meja makan.
            “Bu, Bapak pergi dulu ya. Jaga anak-anak. Hati-hati di rumah.”
            “Iya Pak, Bapak juga. Bekalnya sudah aku masukan ke dalam keresek ya Pak. Lengkap dengan sambal terasi dan tempe mendoannya.”
            “Iya Bu, makasih.” Kata suamiku sambil menyodorkan tangannya ke arahku untuk kucium. Ia pun tidak pernah lupa untuk selalu mencium keningku setiap akan pergi bekerja menunaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.
            Walaupun suamiku pernah mengecap bangku universitas, ia tidak malu untuk menjalani pekerjaannya sebagai sopir truk selepas ia di PHK dari pabrik kertas. Bahkan menjadi kuli panggul di pasar atau bekerja serabutan sebagai kuli bangunan.
            Ketika lelap tidurnya aku melihat lelah di raut wajahnya. Apalagi jika aku ingat pengorbanannya untuk meninggalkan keluarganya yang kaya raya hanya untuk memperistriku. Pernikahan tanpa restu kedua orang tuanya. Membuatnya harus hidup dalam kepahitan bersamaku.***
            “Mas, udah kita putus aja. Saya Ndak apa apa.” Kataku meyakinkannya untuk mengakhiri hubungan kami. Rasanya tak pantas ia menikahi aku yang SMP saja tidak lulus.
            “Tidak Dek, aku sudah teranjur jatuh cinta dan memilihmu untuk menjadi teman hidupku sampai tua nanti.  Aku akan membuktikan bahwa aku bisa berhasil tanpa bantuan kedua orang tuaku. Kita bisa hidup dari Nol. Aku akan berusaha untuk menjadi suami yang baik. Menjadi Bapak yang baik untuk anak-anak kita kelak.” Katanya sambil memegang tanganku erat.
            Saat itulah aku mempercayakan seluruh hidupku kepada pria yang usianya hanya terpaut 3 tahun saja denganku. Pria yang telah mengorbankan segalanya untuk menjadi pendamping hidupku selama 16 tahun ini. ***
            “Bu, kapan kita beli baju lebaran?”
            “Nanti nak, tunggu Bapakmu Pulang dulu ya.”
            “Kapan Bu, lebaran ke hanya tinggal beberapa hari lagi. Lagian Bapak kok lama banget sih Bu perginya? Kan biasanya 7 atau 8 hari sudah pulang.” Indah terus nyerocos.
            “Sabar ya nak, orang sabar disayang Tuhan.” Sambil membelai rambut anak sulungku yang kini sudah mulai beranjak belia ini. Pertanyaannya juga menohokku yang sebetulnya teramat cemas dengan kepergian suamiku kali ini.
            Bagaimana tidak, empat belas hari sudah, tidak ada kabar darinya. Padahal biasanya paling lama 8 hari sudah pulang kalau ia mengantar barang dari sini ke Sumatera. Uang belanjaku sudah habis hingga mau tak mau aku harus mengutang kebutuhan hidup kami beberapa hari ini kepada Mbok.Sinah.
            Walaupun malu terpaksa aku lakukan agar anak-anak tetap bisa makan. Walaupun makan seadanya ketiga anaku tak pernah mengeluh. Mereka juga rela berjalan kaki ke sekolah karena tidak cukup uang untuk membayar ongkos bis. Rupanya keprihatinan hidup kami telah cukup menimpa anak-anaku. Aku bersyukur karenanya.
            “Dari mana Nak?” tanyaku pada Lita yang tergopoh-gopoh menggendong adiknya yang semakin besar saja.
            “Sini sayang, ibu gendong....Ini udah besar kok digendong-gendong Mbak nya terus? Nanti Mbaknya enggak tinggi-tiggi loh karena gendong kamu.” Kataku sambir meraih Didi anak terkecilku dari punggung Lita. Ia malah cekikikan.
            “Aku dari rumah Dewi Bu, ngajak Adek nonton film kartun kesukaannya.”
            Batinku kembali terusik perih. Sudah seminggu TV kami yang umurnya nyaris 20 tahun itu rusak. Tidak bisa digunakan sama sekali. Terkadang Didi digendong kakaknya pulang sambil menangis karena Dewi dan adiknya menonton acara lain.
            Brak! Suara pintu dibuka membuyarkan lamunaku yang sedang mencemaskan keadaan suamiku yang belum pulang. Sedang memutar otak bagaimana caranya untuk bisa membayar utang bekas keperluan sehari-hari, membeli beras yang hampir habis, gas yang tak lama lagi juga akan habis. Hari raya juga akan segera tiba. Anaku yang paling besar bahkan sudah meminta baju lebaran.
            “Mbak, ini gimana uang kontrakannya kok belum dibayar-bayar toh? Bulan ini sudah hampir habis Mbak. Telatnya sudah berhari-hari.”
            “Sabar Mbak, suami saya belum pulang. Nanti kalau dia pulang saya janji bayar sewa kontrakannya.”
            “Suamimu pasti kecantol sama gadis-gadis Pantura itu loh. Udah 2 minggu lebih enggak pulang-pulang. Ndak bisa diharapkan.” Katanya sambil berlalu pergi.
            Perkataan Mbak.Ratmi benar-benar membuat aku semakin cemas. Tidak hanya khawatir dengan keselamatan suamiku saja tapi juga hatinya yang mungkin akan terpaut oleh wanita lain. Berlama-lama hidup tanpa istri bukan hal yang mudah untuk lelakiku ini.
Penantian

            “Ya Allah, lindungi suamiku di  manapun ia berada. Ingatkan selalu ia pada kami di rumah. Tetapkanlah selalu hati dan cintanya untukku dan anak-anaku. Jangan buat ia berpaling pada perempuan lain selain aku ya Allah...jaga ia untukku. Untuk anak-anaku...”***
            Baru kali ini aku meninggalkan istri dan anak-anakku cukup lama. Sudah hampir 2 minggu. Sementara uang untuk dibawa pulang habis untuk makan dan minum kami sementara jembatan Comal diperbaiki. Aku tahu mereka pasti mencemaskan aku di rumah. Padahal aku lebih mencemaskan keadaan mereka.
            “Sahur dulu Mas...”
            “Ndak usah, kamu aja. Saya tolong pesankan Teh manis hangat saja.”
            “Berdua saja Mas, Mari.”
            “Ndak Apa-apa, makan aja.”
            “Loh gimana sih Mas, yang butuh banyak tenaga itu Mas loh bukan saya. Sudah 2 malam ini Mas tidak makan sahur hanya teh  manis saja.”
            “Ndak apa-apa toh, kamu kan yang saya bawa, masa saya biarin kamu kelaparan.”
            “Ya sudah, saya ndak makan kalau begitu.” Katanya memaksa sambil menyerahkan nasi bungkus itu ke arahku yang akhirnya kami makan berdua.
            Sengaja aku tidak sahur untuk menghemat uang agar masih tersisih uang untuk istri dan anaku di rumah. Mereka yang sudah pasti menungguku di rumah.***
            “Bapak...” mereka menyambutku dan memelukku hangat
            “Pak, kok lama sekali?” tanya perempuan cantik yang kali ini terlihat sedikit muram. Ada kesedihan di matanya dan kekecewaan di wajahnya.
            Akhirnya kuceritakan kisah terdamparku di jembatan Comal pada istriku. Perempuan yang selalu membuatku jatuh cinta setiap hari. Ketelatenannya menjaga, membesarkan dan mendidik anak-anak kami membuatku bangga memilikinya. Pun untuk kesabarannya yang selalu siap dengan pahit manis hidup yang ia jalani bersamaku.
            “Ndak apa-apa Pak...dapat uang sedikit enggak masalah, yang penting Bapak selamat. Rezeki bisa dicari.”
            “Yang aku takutin Bapak kenapa-napa, atau malah eggak pulang-pulang karena kecantol sama gadis pantura.” Kataku tersipu malu karena sempat termakan hasutan Mbak.Ratmi.
            “Ya Ndak toh Bu...Enggak ada yang bisa ngalahin kecantikan ibu, apalagi kebaikan dan kesabaran ibu menjadi istri dan ibu dari anak-anaku.” Ku peluk ia semakin erat. Aku tahu ia adalah perempuan tepat yang kupilih sejak akau memutuskan untuk memperistrinya.***
            “Pos!” Tiba-tiba Pak Pos datang membawa 1 dus besar ke depan rumah kami.
            “Ini untuk Pak Radit.”
             “O, Iya, Suami saya.”, aku bergegas melihat dus besar itu dan segera menandatangani tanda terima yang disodorkan Pak Pos kepadaku.

“Untuk: Raditya Sastromihardjo, Pengirim...Satromihardjo...”****** TAMAT ******

No comments:

Post a Comment